(Oleh:
Zulfihadi)
Sejak
kemunculannya pertama kali lebih dari 3000 tahun lalu jauh di pedalaman Eitophia,
salah satu negara di Afrika bagian utara kopi telah memulai kemunculannya
secara fenomenal sebagai temuan gembala kambing, seiring perjalanan sejarah
yang dilaluinya dengan penuh dinamika kopi akhirnya menjadi barang eksklusif
namun tetap merakyat.
Di Sulawesi kopi
bahkan menjadi hasil bumi yang diperebutkan dalam sebuah perang saudara
terbesar kedua yang pernah terjadi dan, melibatkan semua kerajaan besar yang
ada di pulau berbentuk huruf “K” ini. Dahsyatnya perang kopi ditahun 1898 hanya
dikalahkan oleh dahsyatnya perang Makassar yang terjadi dua abad sebelumnya ketika kerajaan Makassar melawan VOC.
Konon Songkok Biring atau Songkok Bone menjadi salah satu bukti sejarah dari perang kopi yang masih dapat ditemui hingga saat ini, juga di Mandar yang sempat berafiliasi dengan kerajaan Bone dalam perang itu.
Konon Songkok Biring atau Songkok Bone menjadi salah satu bukti sejarah dari perang kopi yang masih dapat ditemui hingga saat ini, juga di Mandar yang sempat berafiliasi dengan kerajaan Bone dalam perang itu.
Kopi juga
setidaknya pernah berhasil mencatatkan namanya di Mandar sebagai komoditi
unggulan yang diekspor dengan Tumasik sebagai negara sasaran. Dalam laporan
yang dikutip dari buku Kuasa Penjajah disebutkan bahwa Mandar adalah salah satu
penyumbang kopi dari lima daerah penghasil terbesar di luar Tanah Toraja.
Menelusuri
jejak asal kedatangan kopi di Mandar hari ini masih cukup sulit ditemui
mengingat minimnya catatan sejarah tentang itu. Namun sejarah selalu mempunyai
cara untuk mencatatkan dirinya sekalipun manusia lupa menulisnya dengan pena.
Berbeda dengan
komoditi kuno lainnya seperti sutra dan kopra yang masuk dan diperkenalkan di
Mandar dari arah pantai, sepertinya kopi justru diperkenalkan dari arah
pegunungan. Ada dua hal yang bisa menjadi pendukung hipotesis ini.
Secara
geografis Mandar, terdiri dari Mandar pesisir yang dulu dikenal sebagai
konfederasi kerajaan Pitu Babbana Binanga dan Mandar pegunungan sebagai
konfederasi Pitu Ulunna Salu. Wilayah-wilayah pegunungan ini berbatasan
langsung dengan Tanah Toraja penghasil kopi yang sampai hari ini terkenal
hingga ke dunia internasional. Jika dilihat mulai dari bentangan pegunungan
Sulawesi Barat maka nampak bahwa semakin ke arah pantai maka, kerapatan lahan
pertanian kopi semakin berkurang.
Hal kedua
adalah adanya penyebutan kawa untuk menyebut kopi. Menurut keterangan seorang
penulis Eropa, Terance William Bigalke. Antropolog sekaligus pakar sejarah
Indonesia dan Asia Tenggara modern yang menyebut bahwa sebelum kedatangan VOC,
orang Toraja sudah akrab dengan sebutan kawa’. Istilah yang sangat jelas
pengaruhnya dalam kata kawa di Mandar.
Kemunduran
produksi kopi akhirnya terjadi di Mandar sekitar tahun 1970-an. Ditengarai hal
ini mulai terjadi ketika perusahaan-perusahaan asing dinasionalisasi oleh
pemerintah RI ditahun 1950-an untuk menciptakan kemandirian negara Indonesia.
Sayangnya orang-orang yang menangani sektor usaha kopi tidak memperhatikan lagi
kualitas dan kuantitas kopi yang diproduksi.
Sejauh ini,
informasi tentang penanaman kopi tertua di Mandar secara valid baru datang dari
informasi dan kesaksian H. Yahya yang
berusia 72 tahun. Salah seorang tokoh masyarakat desa Tapango Barat yang
menyebutkan bahwa pertama kali ia menanam pohon kopi dalam jumlah banyak adalah
pada tahun 1960 dan hingga kini, pohon-pohon kopi tersebut masih tumbuh dan
berbuah. Namun, lama sebelum itu ketika ia masih kanak-kanak. H. Yahya masih
sempat menyaksikan pohon-pohon kopi banyak tumbuh di sekitar rumah warga
Tapango yang masih terpencil dengan akses jalan sangat sulit ketika itu.
Keadaan ini
diperparah lagi dengan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi dimasa itu,
menyebabkan hilangnya ketenangan warga dalam bertani hingga lahan-lahan
perkebunan kopi semakin terbengkalai dan satu persatu lenyap. Di sinilah awal
mula terpuruknya kopi Mandar hingga gemanya tak lagi terdengar di pasar dunia.
Tahun 2010
animo masyarakat pecinta kopi Indonesia kembali bangkit dan akhirnya menjalar
sampai ke Sulawesi Barat. Belakangan ini di Mandar kedai kopi menjamur di
mana-mana. Namun disayangkan tak ada lagi menu kopi Mandar. Kedai kopi kelas
bawah menyajikan seabrek kopi kemasan dari Jawa menjadi menunya. Sementara
kedai kopi berkelas menyajikan kopi premium dari berbagai daerah sebut saja
kopi Linthong, Sidikalang, Kintamani, Toraja, Kalosi atau Manggarai. Sekalipun
ada yang menyajikan kopi Mamasa, itu tak seberapa. Robusta dari Mandar, sama
sekali tak ada.
Dengan harga
dan peminat kopi saat ini, semesinya kebun kopi bisa menjadi pemasok utama
ekonomi keluarga. Sayangnya image masyarakat sudah terlanjur terdoktrin bahwa
harga kopi tidak akan bisa membuat dapur tetap berasap.
Olehnya itu
peran pemerintah sangat diharapkan untuk melakukan promosi dan edukasi tentang
produksi kopi. Kegiatan ini pun tak bisa dilakukan hanya oleh satu instansi
saja. Mengingat kopi sebenarnya bisa menjadi kait simpul geliat perekonomian di
wilayah Sulawesi Barat sejak dari pertanian/perkebunan, kesehatan, kehutanan,
wisata, perindustrian maupun perdagangan.
Jika semua
stake holder perkopian ini bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik
didukung oleh petani yang ulet, pekerja yang tekun dan pengusaha yang jujur,
saya secara pribadi merasa sangat yakin bahwa kopi Mandar ke depannya akan
mampu menjadi produk kopi dengan ciri khas kawasannya sendiri untuk selanjutnya
maju ke pentas perkopian dunia dengan disajikan oleh para barista profesional
dalam berbagai ajang kompetisi kopi internasional.
NB: Tulisan ini didedikasikan
untuk kopi Cap Maraddia sebagai pelopor pertama pengembang kopi robusta Mandar
berkualitas premium.
Sumber bacaan:
- - Sejarah Nasional Indonesia, jilid VI “Zaman Jepang
dan Zaman Republik”. (Balai Pustaka, 2013).
- - Kuasa Penjajah. (M. Thamrin Mattulada, 2015)
- - www.cnnindonesia.com