Sebuah versi berbeda kemudian
datang dari seorang penulis Eropa, Terance William Bigalke. Antropolog
sekaligus pakar sejarah Indonesia dan Asia Tenggara modern. Dikutip dari http://www.cnnindonesia.com,
Bigalke menuliskan fakta tersebut dalam buku berjudul Tana Toraja: A Social
History of An Indonesian People (2005), merujuk pada kesaksian seorang Belanda
bernama Van Dijk. Sebelum membuka perkebunan kopi di Pegunungan Rantekarua pada
1900-an, Van Dijk menemukan pohon kopi berusia sekitar 200 tahun di Desa
Sa'dan, Toraja Utara.
Ini artinya bahwa masyarakat
Toraja sudah mengenal kopi sejak awal tahun 1600. Hal ini cukup masuk akal
mengingat pedagang-pedagang Arab telah berinteraksi dengan pedagang nusantara pasca
jatuhnya bandar Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan bandar Sunda
Kelapa menyebabkan para pedagang Arab yang senantiasa berseteru dengan pedagang
Eropa terkait perang Salib, mencari bandar niaga lain yang tidak dikuasai oleh
orang Eropa. Dan sejarah membuktikan bahwa pilihan itu jatuh ke bandar Makassar.
Bahkan ada yang menyebut jika
kopi telah dipertukarkan oleh pedagang Arab dari Jawa dengan emas, porselen dan
kain pada abad XIV hingga memungkinkan masyarakat lokal bisa menyerap kosakata
qahwa untuk menyebut kopi. Walau demikian, ha ini masih membutuhkan kajian
mendalam.
Harga kopi yang melambung di
pasaran dunia menyebabkan persaingan kopi di Toraja menjadi panas.
Para
pedagang luar bersaing untuk mendapatkan komoditi itu dengan cara mendekati dan
menjalin kerjasama dengan para pemimpin lokal. Sebut saja para pedagang Bone
dan Luwu bekerjasama dengan Pong Maramba dari Toraja bagian utara, sementara
Sidenreng, Wajo, Soppeng dan pedagang-pedagang Arab membangun afiliasi dengan
Danduru dan Pong Tarongko.
Dengan demikian tercipta pula dua
jalur perdagagan kopi sesuai asal kedatangan pedagang-pedagang tersebut. Bone
dan Luwu membawa kopi melalui jalur timur melalui Sa’dan – Balusu - Sesean -
Rantepao - Rantebua - Pelabuhan Bua di Palopo. Sementara pedagang Sidenreng,
Wajo, Soppeng dan Arab melewati jalur Barat melalui Pangala – Dende - Piongan -
Kurra - pasar Rantetayo – pelabuhan Pare-pare.
Tensi persaingan untuk
mendapatkan kopi terus meningkat hingga berakibat pada pecahnya perang lokal di
antara penguasa-penguasa adat yang ada di Toraja dibantu oleh sekutunya yang
merupakan pedagang-pedagang luar tersebut. Perang itu dikenal sebagai Perang
Kopi I dan berlangsung dari tahun 1887 dan berakhir tahun 1888.
Agak reda sesaat, lalu kemudian pada tahun 1889 pasukan kerajaan Bone dibantu oleh pasukan Gowa dan Mandar ...(